Akhirnya, minggu (22/10) kemarin saya dapat menonton film Sang Penari lebih awal daripada jadwal tayang perdana di 10 November 2011 nanti. Kemarin di XXI PIM 1 memang ada pemutaran khusus film Sang Penari di Jakarta. Sang Penari merupakan sebuah film yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. RDP merupakan sebuah novel yang dibuat dengan latar belakang sebuah dukuh miskin pada era 50-60an. Dukuh Paruk hanyalah kampung miskin dengan tanah yang gersang dan masyarakat yang amat sangat polos. Tidak ada kebanggaan yang mereka miliki kecuali Ronggeng. Ronggeng bukanlah sekedar penari, tapi ia adalah kebanggaan bagi semua warga yang tinggal di Dukuh Paruk. Dan Srintil adalah seorang Ronggeng. Sementara Rasus adalah teman kecil Srintil yang bekerja sebagai tentara. Srintil dan Rasus adalah sepasang kekasih yang cintanya terbentur oleh hambatan-hambatan bernama idealisme, politis yang semuanya bersumber dari ego manusia. Untuk lanjutan cerita dalam novelnya bisa dibaca disini.
Banyak orang yang bilang bahwa film yang berasal dari adaptasi sebuah novel tidak dapat memuaskan harapan para pembaca novel yang bersangkutan. Karena jalan cerita yang disajikan film seringkali berbeda dengan apa yang ada dalam novel. Bahkan ada juga film yang malah pesan yang disampaikan jauh melenceng dari apa yang ada dalam novel (FYI, RDP juga pernah diremake dalam sebuah film yang berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng di tahun 80an, namun film ybs sama sekali jauh panggang dari api). Film Sang Penari pun juga begitu, tidak menyajikan cerita yang sama persis dengan novel asalnya, Ronggeng Dukuh Paruk. Tapi yang saya appreciate disini bahwa Sang Penari bisa memenuhi harapan para penggemar Ronggeng Dukuh Paruk. Saya adalah salah satu penggemar RDP (trims buat teman blogger yang sudah memberi info soal novel keren ini). Saya cinta detail isi ceritanya, paragraf demi paragraf dan bahkan kalimat demi kalimat. Namun saya cukup puas dengan Sang Penari. Meskipun sedikit berbeda dari RDP, Sang Penari tetap ‘berdiri sendiri’. Ifa Isfansyah, sang sutradara, berhasil mengeksekusi RDP dengan cukup baik dalam filmnya. Para penonton yang belum membaca RDP pun dapat mengikuti cerita film dengan mudah tanpa harus membaca novelnya terlebih dahulu. Namun tetap saja saya sangat merekomendasikan Ronggeng Dukuh Paruk untuk dibaca! Karena Ahmad Tohari tidak hanya menyajikan bagusnya cerita yang ia buat, namun juga cara dan gaya penulisan.
So, bloggers, please jangan lupa nonton Sang Penari ya. Film ini akan tayang serentak di seluruh Indonesia pada 10 November 2011.
PS. Ulasan Sang Penari juga disampaikan oleh seorang teman blogger disini. 😉
Komen pertama.. Selamat menonton.. 😀
komen kedua, semoga berkenan bagi para penonton. jangan lupa filmnya dianalisa dan dikritisi. 😀
Ping balik: Ketika Srintil Menari « radical[]rêveur
Wah, keren tuh bisa nonton lebih awal.. Saya mengikuti dari twitter sang penulis naskahnya. Sepertinya film ini akan masuk daftar wajib tonton saya… 🙂
iya uda, sebelumnya ada juga pemutaran khusus di yogya lho padahal, tanggal 16 oktober.. 😀
Ah senangnya bisa nonton duluan Neng. Siap, insyaALLAH nonton, secara diriku pun pecinta RDP 😉
hehe.. iya teh.. aku seneng bgt bisa nonton duluan..
sip-sip, ayo nonton, nanti kita diskusi yaaa 😀
saya pun pingin sekali nonton.. tapi sayangnya ga ada bioskop,,
nunggu tayang di tipi aja,,, ahahah
nasib tinggal di desa.. hiks..hiks..
Waahh bs tahan gak yak aku nonton film beginian.. takut ketiduran.. hehe
Akhirnya ada film mengenai Penari yang tak melibatkan hantu ataupun porno (inget Arwah Goyang Karawang… *shudder) Oke, 10 November, masuk agenda. Semoga pas di Bogor juga tayang 😀
karya ahmad tohari itu orisinil dan merakyat…
10 november ya 😦
masih lama..
saya anak sastra jadi harus menonton,
Wahh….
Pengeeennn…
Udah ada di upload di indowebster ga yach???
Hehehe……..
eeee, ternyata dari ronggeng dukuh paruk. masi ada ga ya di ponti…
Makin gak sabar pengen nonton.
thx mba Dhila reviewnya 🙂