Ulasan: I am Sam

I Am Sam

Image via Wikipedia

Film yang saya tonton kali ini adalah Film terbitan tahun 2001; I am Sam. Jika dalam ‘Ocean Heaven’ diceritakan seorang anak autis yang dirawat oleh ayah yang super sabar, sebaliknya ‘I am Sam’ bercerita tentang seorang ayah berkebutuhan khusus (autis) yang mencurahkan segala waktu, usaha, kemampuan dan cintanya untuk membesarkan anak semata wayangnya. Sam, sang ayah (diperankan oleh Sean Penn), merupakan seorang yang berkebutuhan spesial dan bekerja sebagai waiter di salah satu kafe. Hidupnya berubah ketika pasangannya melahirkan seorang anak perempuan (diperankan oleh Dakota Fanning) dimana sang ibu meninggalkan anak dan suaminya begitu saja setelah melahirkan. Waktu berlalu dengan tidak cukup mudah. Sam, dengan segala keterbatasannya, harus merawat anaknya dengan segala yang ia punya dan dibantu oleh tetangganya dan teman-temannya yang sebagian besar adalah juga orang-orang berkebutuhan spesialtis. Hingga suatu saat Dinas Sosial setempat mengambil anaknya untuk diadopsi keluarga lain dengan alasan Sam yang tidak mampu mengurus anaknya karena dirinya yang berkebutuhan khusus. Saat itulah Sam memperjuangkan haknya sebagai ayah agar dirinya bisa kembali merawat anaknya.

Menonton film ini akan banyak memberi kita informasi baru mengenai kehidupan orang lain yang mungkin ‘berbeda’ dengan kita, apalagi jika orang tersebut menjalani kehidupan sebagai orang tua. Film lama memang, tapi apa salahnya jika kita belum menontonnya atau bahkan menonton ulang. Akan banyak hal yang mungkin saja semakin membuat kita terinspirasi.

Ulasan: Film Ocean Heaven, Kisah Nyata Seorang Ayah dan Anaknya yang Autis

Ocean Heaven

Image via Wikipedia

Satu lagi film mengenai anak-anak spesialtis yang saya tonton. Kali ini adalah film mengenai seorang ayah yang memiliki anak autis berjudul Ocean Heaven (Juli 2010). Kisah yang berdasarkan dari cerita nyata ini menggambarkan perjuangan ayah yang berusaha mengajarkan anaknya yang autis dengan sabar. Sang ayah, Pak Wang (Jet Li) diceritakan menderita sakit keras dan umurnya ditentukan hanya dalam hitungan waktu yang sebentar. Sementara anaknya yang berumur kisaran 17-19 tahun (Wen Zhang) memiliki spesialtis autis. Sejak istrinya meninggal Pak Wang selalu mengurusi dan memenuhi kebutuhan Dafu, anaknya. Ia selalu membawa Dafu kemanapun ia pergi bahkan ketika bekerja sekalipun.

Pak Wang memang sakit namun ia tidak bisa dirawat intensif di RS karena ia harus bekerja dan memenuhi kebutuhan anaknya. Maka masalah muncul ketika pak Wang berpikir akan masa depan Dafu setelah ia meninggal. Sempat putus asa, maka pak Wang sempat mencoba membunuh Dafu dan dirinya sendiri dengan cara menenggelamkan diri di laut. Namun usaha itu tak berhasil karena Dafu dengan mengejutkan masih mampu berenang dan menyelamatkan ayahnya meski tubuhnya sudah dipakaikan batu pemberat. Maka pak Wang meminta bantuan dinas sosial dan yayasan sosial mulai dari Panti Asuhan hingga Rumah Sakit Jiwa agar merawat anaknya ketika ia meninggal. Sayangnya tidak ada satupun lembaga yang dapat menerima Dafu karena tidak sesuai kriteria yang mereka tentukan. Untung saja di masa sulit itu pak Wang bertemu dengan mantan Kepala Sekolah di tempat Dafu sekolah ketika kecil dulu. Ibu Liu, mantan kepsek ini baru saja mendirikan yayasan Autis dan pak Wang merasa ini adalah tempat yang tepat untuk Dafu tinggal sepeninggal dirinya nanti.

Sayangnya tidak semudah membalikkan tangan membuat Dafu betah tinggal di tempat yang baru. Pak Wang masih tetap menemani Dafu di asrama yayasan autis itu. Pak Wang sadar kalau Dafu masih terbiasa dengan dirinya dan belum terbiasa mandiri. Maka pak Wang pun mulai mengajarkan Dafu agar mandiri, mulai dari membuka baju sendiri, memasak telur, naik dan turun bis di tempat yang tepat hingga mengepel lantai di tempat kerja pak Wang. Laki-laki setengah baya itu telah merencanakan agar Dafu bekerja menggantikan dirinya setelah dirinya tiada. Satu hal lagi, pak Wang juga mensugesti pikiran Dafu agar ia tidak merasa kehilangan dirinya ketika saatnya tiba nanti.

Film ini adalah film full-drama yang pertama kali dimainkan oleh Jet Li selama 25 tahun menjadi aktor. Filmnya bagus sekali, luar biasa menguras air mata hehe. Tapi pesan yang ingin disampaikan sangat mengena dan sangat bagus bagi mereka para anak agar berbakti lebih baik lagi kepada orang tua dan juga bagus sekali untuk mereka para orang tua, khususnya yang memiliki anak-anak spesialtis, agar selalu sabar dan tak berhenti mendidik dengan baik dan penuh kasih sayang. 😉

Kereta Api Terakhir

Satu lagi film Indonesia berhasil membuat saya takjub. Ya, sama seperti judul ulasan saya saat ini, judul film tersebut adalah Kereta Api Terakhir. Film yang diproduksi pada tahun 1981 ini adalah film yang bertemakan romansa perjuangan berdasarkan novel karya Pandir Kelana dengan judul yang sama. Mengisahkan tentang seorang tentara bernama Firman yang mendapat tugas untuk mengamankan kereta-kereta dari Purwokerto menuju Yogyakarta. Ketika itu negara sedang dalam kondisi pasca kemerdekaan (1945-1950) yang masih labil. Belanda yang belum rela Indonesia merdeka, terus menggempur dan ingin menguasai beberapa kota penting di Indonesia. Salah satu yang menjadi incaran Belanda adalah jalur perkereta-apian yang melintas di pulau Jawa. Masa itu Kereta Api adalah transportasi yang sangat penting dan menjadi pilihan utama untuk pergerakan masyarakat dari satu daerah ke daerah yang lain. Maka, jika jalur-jalur kereta diberangus, akan terjadi kelumpuhan secara sigfinikan di Indonesia kala itu.

Tugas Letnan Firman (Pupung Harris), Letnan Sudadi (Rizawan Gayo) dan Sersan Tobing (Gito Rollies) adalah tidak hanya mengawal kereta-kereta dari Purwokerto hingga Yogya. Mereka juga harus mengawal para penumpang yang mengungsi menuju Yogya. Ada isu bahwa Belanda akan menyerang kota mereka sehingga pengungsian pun dirasa sangat perlu dilakukan, terutama bagi masyarakat yang mudah termakan isu. Letnan Sudadi berangkat bersama kereta pertama, sementara Letnan Firman dan Sersan Tobing mengawal kereta terakhir. Di kereta terakhir ini tidak hanya ditumpangi oleh para pengungsi namun juga ada berkas-berkas penting negara yang harus diamankan di ibu kota. Banyak halangan selama perjalanan. Ternyata mengawal kereta tidak semudah yang dibayangkan apalagi dengan musuh yang selalu mengintai. Berkali-kali kereta dihujani peledak dan peluru dan bahkan ada gerbong yang sempat terbakar. Dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi itu, maka banyak pejuang, pegawai kereta api dan masyarakat yang gugur.

Kisah heroik tidak hanya mewarnai film yang disutradarai oleh Moechtar Soemodimedjo ini, namun juga kisah cinta. Karena pada dasarnya film ini memang termasuk jenis film romansa. Sepanjang perjalanan menuju Yogya, Letnan Firman bertemu dengan Retno, perempuan yang disangka sebagai adik dari Kapten Pujo (Doddy Sukma) yang ditemuinya beberapa jam sebelum keberangkatan. Namun ternyata ia salah, Retno yang ditemuinya adalah Retno yang berbeda meski berparas sama. Di akhir cerita ia pun mengetahui jika Retno adalah kembar. Dan disini ia sempat mengalami dilema, Retno mana yang harus ia pilih.

Film yang diproduksi PPFN (Pusat Produksi Film Negara) bekerjasama dengan PJKA (kini PT KAI) ini digarap dengan cukup apik. Para analis film mengatakan, bisa jadi bahwa Kereta Api Terakhir adalah film road movie pertama yang dibuat oleh Indonesia. Meski romansa yang dijadikan kisah utama, namun tidak menghilangkan esensi perjuangannya. Campur aduk rasanya menonton film jadul ini; perasaan nasionalis, haru biru akan perjuangan para tentara serta pegawai kereta api, juga tersipu-sipu akan dialog rayuan dan tak lupa sisi humor yang disajikan pun membuat saya terpingkal-pingkal. Film ini termasuk film Indonesia yang digarap dengan serius dan hasilnya pun sangat cool, dan walaupun sudah berumur 30 tahun, film ini tetap cool!

Ada yang sempat mengusulkan agar film Kereta Api Terakhir ini di-remake. Usulan yang bagus, namun apakah film yang di-remake akan sebagus film yang sudah pernah dibuat? Jawabannya ‘iya’ jika digarap dengan sangat serius. Demi kebangkitan film nasional! Dan yang saya cari kini adalah Novel Kereta Api Terakhir yang ditulis oleh Pandir Kelana, seorang pelaku kemerdekaan yang pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal dengan nama asli RM Slamet Danusudirjo. Saya jadi terkagum-kagum dengan sosok beliau. Karena kabarnya beliau pernah menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Bayangkan kawan, seorang tentara menjabat sebagai rektor di kampus kesenian. Keren kan?! Maka saya pun ingin membaca langsung karya-karya (novel) beliau yang kebanyakan menuliskan kisah dengan latar belakang sebelum penjajahan, penjajahan, dan pasca kemerdekaan. Ada yang punya?

PS. Ulasan tentang film Kereta Api Terakhir ini juga ditulis oleh seorang sahabat di blognya.

Sang Penari Dukuh Paruk

Sang Penari (The Dancer)

Akhirnya, minggu (22/10) kemarin saya dapat menonton film Sang Penari lebih awal daripada jadwal tayang perdana di 10 November 2011 nanti. Kemarin di XXI PIM 1 memang ada pemutaran khusus film Sang Penari di Jakarta. Sang Penari merupakan sebuah film yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. RDP merupakan sebuah novel yang dibuat dengan latar belakang sebuah dukuh miskin pada era 50-60an. Dukuh Paruk hanyalah kampung miskin dengan tanah yang gersang dan masyarakat yang amat sangat polos. Tidak ada kebanggaan yang mereka miliki kecuali Ronggeng. Ronggeng bukanlah sekedar penari, tapi ia adalah kebanggaan bagi semua warga yang tinggal di Dukuh Paruk. Dan Srintil adalah seorang Ronggeng. Sementara Rasus adalah teman kecil Srintil yang bekerja sebagai tentara. Srintil dan Rasus adalah sepasang kekasih yang cintanya terbentur oleh hambatan-hambatan bernama idealisme, politis yang semuanya bersumber dari ego manusia. Untuk lanjutan cerita dalam novelnya bisa dibaca disini.

Banyak orang yang bilang bahwa film yang berasal dari adaptasi sebuah novel tidak dapat memuaskan harapan para pembaca novel yang bersangkutan. Karena jalan cerita yang disajikan film seringkali berbeda dengan apa yang ada dalam novel. Bahkan ada juga film yang malah pesan yang disampaikan jauh melenceng dari apa yang ada dalam novel (FYI, RDP juga pernah diremake dalam sebuah film yang berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng di tahun 80an, namun film ybs sama sekali jauh panggang dari api). Film Sang Penari pun juga begitu, tidak menyajikan cerita yang sama persis dengan novel asalnya, Ronggeng Dukuh Paruk. Tapi yang saya appreciate disini bahwa Sang Penari bisa memenuhi harapan para penggemar Ronggeng Dukuh Paruk. Saya adalah salah satu penggemar RDP (trims buat teman blogger yang sudah memberi info soal novel keren ini). Saya cinta detail isi ceritanya, paragraf demi paragraf dan bahkan kalimat demi kalimat. Namun saya cukup puas dengan Sang Penari. Meskipun sedikit berbeda dari RDP, Sang Penari tetap ‘berdiri sendiri’. Ifa Isfansyah, sang sutradara, berhasil mengeksekusi RDP dengan cukup baik dalam filmnya. Para penonton yang belum membaca RDP pun dapat mengikuti cerita film dengan mudah tanpa harus membaca novelnya terlebih dahulu. Namun tetap saja saya sangat merekomendasikan Ronggeng Dukuh Paruk untuk dibaca! Karena Ahmad Tohari tidak hanya menyajikan bagusnya cerita yang ia buat, namun juga cara dan gaya penulisan.

So, bloggers, please jangan lupa nonton Sang Penari ya. Film ini akan tayang serentak di seluruh Indonesia pada 10 November 2011.

PS. Ulasan Sang Penari juga disampaikan oleh seorang teman blogger disini. 😉

Menanti Sang Penari (The Dancer)

Sang Penari (The Dancer)

Akhirnya setelah 2 tahun penantian, sebuah karya Ahmad Tohari yang legendaris di tahun 80-an, novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk akan di-remake kembali dalam sebuah film berjudul Sang Penari (The Dancer). Film ini akan tayang perdaya pada 10 Nopember 2011. Bagi yang belum tahu seperti apa cerita novelnya, bisa membaca kembali ulasan saya disini. Dan berikut dibawah ini adalah trailer resmi film Sang Penari yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah.

PS: dari twitter resmi Sang Penari -> @SangPenari: Yang berminat ikut nonton bareng film Sang Penari tgl 16 Oktober di Jogja, email sangpenari[at]gmail.com ya