Book Review: Folklore Madura

Judul Buku: Folklore Madura
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Progress
Cetakan Ketiga: Februari 2007

Apa yang terkenal dari Madura? Sate Madura? Logatnya yang khas? Atau Carok? hehe. Ups, mohon artikel ini tidak dibaca dari kacamata SARA ya. Sebab justru ulasan buku ini adalah pengulasan mengenai keistimewaan orang-orang Madura. Bukan berarti suku lain tidak istimewa, sebab keistimewaan masing-masing suku adalah berbeda-beda dan memiliki ciri khas sendiri.

Cak Nun (panggilan akrab Emha Ainun Nadjib) menyebut orang-orang Madura sebagai The Most Favorable People (Baca The Most Favorable People di hal. 133). Sekali lagi, bukan berarti suku lain tidak favorable. Hanya saja yang dibahas oleh Cak Nun kali ini adalah orang-orang Madura, takiye. 😉 Buku ini bukan buku ilmiah tentang asal usul orang-orang Madura. Namun buku ini berisi kumpulan anekdot yang dikarang dengan gaya khas Emha. Ya, seperti buku-buku Cak Nun yang biasanya, berisikan artikel-artikel yang merupakan anekdot (bisa juga disebut parodi) yang ditulis berdasarkan lalu lalang kehidupan yang ada di sekitar kita.

Salah satu keistimewaan orang-orang Madura adalah kesederhanaannya, kesadarannya akan realitas dan kemampuannya mengungkapkan kerumitan dalam hal yang sederhana dan polos. Nah lho, bingung kan dengan apa yang saya tulis? :mrgreen: Itu tandanya saya mewakili kaum modernitas yang selalu kering mencari kata dalam mengungkapkan suatu hal. Sama halnya dengan kaum akademisi dan ilmuwan, tidak sedikit dari mereka yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjelaskan sesuatu. Hasilnya adalah; yang mendengarkan semakin tidak paham, sementara si ilmuwan sendiri mendadak menjumpai dirinya setelah berdiri jauh dari tempat kebenaran dan kenyataan yang coba ia terangkan. (Baca Sinar Pragmatis dan Laser Ngeh di hal. 86)

Yang juga menarik dari orang Madura adalah karakternya yang serius tapi juga lugu. Lugu disini bukan berarti bodoh, dungu dan dungu sedungu-dungunya. Bukan itu. Namun yang dimaksud lugu disini adalah pengungkapan suatu hal yang serius namun tanpa ada satu tujuan dibalik tujuan (udang dibalik batu). Nah lho, bahasa saya belibet lagi. :mrgreen: Contoh soal ketika ada seorang kyai lokal Madura yang berkata kepada Bupati dengan wajah polos dan lugu namun tetap serius:
       “Anno, Pak bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau ‘dak salah ‘kan uang rakyat.
              Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak, kasihan rakyat, Pak.
       Moso’ sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan  buta huruf terhadap pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap angka-angka dan manajemennya saja, buta huruf…”

Orang-orang Madura pun dikenal dengan sikap to the point-nya, tidak suka bertele-tele atau berpura-pura, namun tetap sampai pada intinya. Hal ini berbeda dengan ‘iya’-nya orang Jawa yang belum tentu berarti ‘iya’. Seperti pada suatu ketika Cak Nun diundang di suatu acara peringatan wafat kyai besar di sebuah pesantren. Jika biasanya sebelum acara inti banyak sekali sambutan yang disampaikan dari deretan pejabat atau orang berkepentingan, namun disini berbeda. Tiba-tiba saja ada santri yang naik podium, memberi salam dan membaca Al-Qur’an. Kemudian MC yang tidak tampak (karena berbicara dari bawah podium) langsung bersuara mempersilakan Cak Nun untuk memberikan pidatonya, “Sekarang langsung saja kita persilakan kepada Cak Nun..”. Sudah. Begitu saja. Tanpa ada sambutan yang dijejali kepura-puraan dan bahasa yang bertele-tele dan diindah-indahkan. Sementara para pejabat yang hadir, meskipun serius mendengarkan, seperti ada perasaan tidak puas karena tidak bisa memberikan sambutan yang sudah disiapkan sebelumnya. (hal ini dan perkataan kyai lokal Madura terhadap Bupati tadi bisa dibaca di Cerita Penutup: Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi di hal. 145)

Orang-orang Madura pun dikenal dengan religiusitasnya yang tinggi. Sampai-sampai mereka senang jika mereka mati dengan cara tertawa. Lho apa maksudnya? Maksudnya begini, bagi orang Madura yang umumnya religius dan sangat serius dengan religiusitasnya, mati adalah kegembiraan yang kalau Tuhan membolehkan-akan mereka jalani dengan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, wong mati itu artinya sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu, dan ketemu dengan Kekasih yang amat didamba-damba, itu pun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tak cukup untuk menampung pertemuan mesra antara para kekasih dengan Kekasih mereka. (Baca Mati Serius cara Ketawa di hal. 118)

Begitulah kurang lebihnya isi buku ini. Cak Nun sangat sukses membuat saya ikut kagum dengan sosok orang-orang Madura. Saya sendiri memang sudah mengagumi tulisan-tulisan Cak Nun. Maka tak heran jika sampai saat ini saya masih sedikit menyesali diri sendiri yang menghilangkan buku Gelandangan di Kampung Sendiri yang jadi salah satu karya beliau di tahun 1995. Tapi biarlah, mungkin sudah menjadi takdirnya untuk hilang dari tangan saya. Maka saya ingin berterimakasih kepada seorang teman yang telah memberikan buku Folklore Madura ini. Meskipun bukan buku yang sama, namun tetap membuat saya kagum. Terima kasih. 😉

Artikel ini diikutsertakan pada Book Review Contest di BlogCamp-nya Pakde Cholik.

52 thoughts on “Book Review: Folklore Madura

  1. Wah panjang banget ya reviewnya.. padahal bukunya ga tebel-tebel amat..
    Terlihat sekali ya bagaimana kearifan lokal itu.. Mungkin nilai-nilai ini yang sudah mulai hilang di sekitar kita..

    Semoga saya nanti berkesempatan membaca buku ini.. *sambil nunggu Folklore Jawa hehe 😀

    • bukunya emang ga tebel2 amat, tapi pesan tersiratnya sangat tebal. 😀
      lantas mari kita cari tau apakah Cak Nun mau nulis Folklore dari Madura. kalo ga silakan dirimu yang menulisnya. 🙂

  2. Madura adalah salah satu etnis yang memiliki keunikan yang komplit; bahasanya, kulinernya, maupun budayanya.. Secara pribadi, saya kenal punya beberapa kawan Madura. Saya suka dengan ketegasan dan keterbukaan mereka yang tentunya tumbuh dari budaya warisan leluhur mereka..

    Ulasan Dhilla ini tap mantap tak iye… 😀

      • Ketika seorang pejabat pusat bertanya ” apa anak2 disini semua sudah masuk TK ?”
        Salah seorang warga menjawab ” Nggak ada pak ?”
        Pejabat tersebut kaget. Namun stafnya segera membisiki pejabat tersebut ” disini memang nggak ada TK pak, yang ada adalah TNK~ Taman Nak Kanak”
        si pejabat mahfum sambil menepuk pundak warga tadi sambil tersenyum.

  3. wah,, ga jadinya ngereview bukunya cak Nun ya mbak?
    sebagai keturunan Madura.. saya jadi bangga nih 😀
    Jadi kangen rumah,, kelamaan merantau.. kemampuan berbahasa Madura saya jadi turun lagi,.. hehe

  4. kalau Dhila yang mengulas , tulisan tentang apapun, bunda yakin deh bakal jadi juara ini .
    Review nya juga keren banget 🙂
    sukses ya Dhila , tak iye …………… 🙂
    salam

  5. Tahu kenapa para penjual sate dari madura itu gerobaknya berbentuk kapal?
    Karena ketika pulang menyeberang selat/laut jadi tinggal mengayuhnya saja ketika melewati.

    He… he… itu salah satu anekdot yang sering muncul.

  6. Kakek saya berasal dari Madura, dan membaca ulasan mbak ini, saya jadi merasakan nostalgia 🙂 Saya sekarang merasa tertarik, akan saya coba cari buku yang satu ini 😀

    –Satu-satunya buku Emha Ainun Najib yang pernah saya baca cuma Gelandangan Di Kampung Sendiri, dan itu pun sudah bertahun-tahun lalu 😛

  7. sayang sekali ,,.di sini beda , katanya” orang madura disini sama madura disana, sangat jauh berbeda,, ” kata mereka yang pernah ke Madura. katanya” disana mereka lembut, tapi beda sekali dengan disini”,, mungkin disini karena mereka perantauan..😉

  8. Buku yang bagus nih Mbak Dhila.. jd ingin baca…
    harusnya semua suku punya bukunya sendiri seperti ini ya (banyak kali ya, akunya aja yg nggak tau)… hehehe.. supaya qta bisa saling memahami dan mengurangi jurang sukuisme…

  9. Yg saya kagum dari orang-orang Madura adalah kesederhaan dlm hidupnya. Mereka rela makan nasi lauk sambal, agar segera bisa naik haji. Tak heran jika jamaah haji dari Madura jumlahnya banyak. 😉

  10. Membaca karya2nya Cak Nun memang selalu menemukan perspektif baru dari apa yg ditulisnya ya Dhil. Blm baca nih yg ini, pinjem duuuunk *plaaaak* hihihihihi

  11. saya asli orang madura. Baru tahu kalau ada buku yang menceritakan orang madura. Tapi sepertinya saya tidak termasuk orang madura seperti yang dituliskan cak nun

    Salam dari pamekasan madura

Tinggalkan Balasan ke riez Batalkan balasan