Di Puncak Benteng Otanaha

Akhirnya, setelah nyasar ke Museum Pendaratan Ampibi, kami berhasil juga menemukan Benteng Otanaha yang berada di Kel. Dembe I, Kec. Kota Barat, Gorontalo. Dan ternyata letaknya tidak terlalu jauh dari Museum Pendaratan Ampibi yang kita sambangi sebelumnya.

Jadi menurut wikipedia.org, Benteng ini dibangun sekitar tahun 1522. Benteng Otanaha terletak di atas sebuah bukit, dan memiliki 4 buah tempat persinggahan dan 348 buah anak tangga ke puncak sampai ke lokasi benteng. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan I terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan II terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan III terdapat 53 anak tangga, dan ke persinggahan IV memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348.

Masih menurut Wikipedia, Sekitar abad ke-15,dugaan orang bahwa sebagian besar daratan Gorontalo adalah air laut. Ketika itu, Kerajaan Gorontalo di bawah Pemerintahan Raja Ilato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505–1585). Mereka memilik tiga keturunan, yakni Ndoba (wanita), Tiliaya (wanita), dan Naha (pria).Waktu usia remaja,Naha melanglang buana ke negeri seberang, sedangkan Ndoba dan Tiliaya tinggal di wilayah kerajaan. Suatu ketika sebuah kapal layar Portugal singgah di Pelabuhan Gorontalo Karena kehabisan bahan makanan, pengaruh cuaca buruk, dan gangguan bajak laut. Mereka menghadap kepada Raja Ilato. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan, bahwa untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negeri, akan dibangun atau didirikan tiga buah benteng di atas perbukitan Kelurahan Dembe, Kecamatan Kota Barat yang sekarang ini, yakni pada tahun 1525. Ternyata, para nakhoda Portugis hanya memperalat Pasukan Ndoba dan Tiliaya ketika akan mengusir bajak laut yang sering menggangu nelayan di pantai.Seluruh rakyat dan pasukan Ndoba dan Tiliaya yang diperkuat empat Apitalau, bangkit dan mendesak bangsa Portugis untuk segera meninggalkan daratan Gorontalo.Para nakhkoda Portugis langsung meninggalkan Pelabuhan Gorontalo. Ndoba dan Tiliaya tampil sebagai dua tokoh wanita pejuang waktu itu langsung mempersiapkan penduduk sekitar untuk menangkis serangan musuh dan kemungkinan perang yang akan terjadi.Pasukan Ndoba dan Tiliaya,diperkuat lagi dengan angkatan laut yang dipimpin oleh para Apitalau atau ‘kapten laut’, yakni Apitalau Lakoro, Pitalau Lagona, Apitalau Lakadjo, dan Apitalau Djailani. Sekitar tahun 1585, Naha menemukan kembali ketiga benteng tersebut. Ia memperistri seorang wanita bernama Ohihiya.Dari pasangan suami istri ini lahirlah dua putra, yakni Paha (Pahu) dan Limonu.Pada waktu itu terjadi perang melawan Hemuto atau pemimpin golongan transmigran melalui jalur utara. Naha dan Paha gugur melawan Hemuto. Limonu menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Naha, Ohihiya, Paha, dan Limonu telah memanfaatkan ketiga benteng tersebut sebagai pusat kekuatan pertahanan. Dengan latar belakang peristiwa di atas,maka ketiga benteng dimaksud telah diabadikan dengan nama sebagai berikut. Pertama, Otanaha. Ota artinya benteng. Naha adalah orang yang menemukan benteng tersebut. Otanaha berarti benteng yang ditemukan oleh Naha. Kedua,Otahiya. Ota artinya benteng. Hiya akronim dari kata Ohihiya, istri Naha Otahiya, berarti benteng milik Ohihiya. Ketiga Ulupahu.Ulu akronim dari kata Uwole,artinya milik dari Pahu adalah putera Naha.Ulupahu berarti benteng milik Pahu Putra Naha. Benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu dibangun sekitar tahun1522 atas prakarsa Raja Ilato dan para nakhoda Portugal.

Berikut foto-foto yang saya ambil.. 🙂

Gerbang masuk Benteng Otanaha

Pemandangan yang didapat dari puncak Benteng Otanaha

Pak Driver lagi meng-Capture alam dengan Nikon 🙂

si Arkeolog yang juga Cameramen bergaya 😀

Bapak yang satu ini juga ikut bergaya ria.. 😀

Well, begitulah aktivitas kami setelah pagi-pagi keliling Gorontalo, take pictures disana dan disini, hehe.

Oh iya, Benteng Otanaha juga pernah diposting sama Mbak Tia. Buat Mbak Tia, kapan2 kita boleh kopdaran yuk, kalo aku ke Gorontalo lagi. 🙂

Kucing Dalam Kondisi Duduk Tertidur Diantara Buku-Buku

Well Bloggers, mohon maaf atas saya yang kesulitan berkunjung ke blog teman-teman sekalian belakangan ini. Bukan maksud mengabaikan tapi memang sedang agak sulit mengatur waktu.

Dibawah ini adalah foto-foto Cicil, kucing saya di rumah yang tertidur dalam kondisi duduk diantara buku-buku. Mungkin bisa jadi pemandangan yang menyenangkan bagi para pecinta kucing. 😉

Miaw-Miaw.. :mrgreen:

Parahnya Infrastruktur Dalam Negeri

Perbaikan sedang dilakukan di jalur busway di jalan Sudirman - Thamrin. Perbaikan ini dilakukan pada beberapa jalur. Namun sayangnya tidak berlangsung secepat yang diinginkan. (gambar: rakyatmerdeka.co.id)

Entah siapa yang harus dipertanyakan soal ini. Saya melihat banyak perbaikan jalan yang sedang berlangsung sepanjang saya melakukan perjalanan  rumah-kantor-rumah. Dan anehnya perbaikan-perbaikan tersebut belum selesai meskipun sudah dimulai sejak lama. Padahal masih banyak jalan yang rusak dan butuh penanganan. Entah dana yang kurang atau ada masalah lain, saya kurang mengerti. Namun hal ini menganggu pikiran masyarakat sekitar, khususnya yang tinggal di Jabodetabek. Ah, infrastruktur di pusat ibu kota saja masih kacau, bagaimana mau membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil? Sementara menurut kesaksian beberapa orang, pembangunan dan perbaikan infrastruktur akan berlangsung cepat jika ada kepentingan-kepentingan tertentu, semisal perbaikan jalan rusak di suatu daerah berlangsung cepat ketika ada pejabat yang akan berkunjung. Saya hanya bertanya-tanya apakah budget untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur memang sedikit sehingga tidak bisa dilakukan dengan cepat? Atau hanya dilakukan untuk kepentingan tertentu (baca: pejabat)? Oh, saya harap bangsa Indonesia memiliki infrastruktur (dan orang-orang di balik layarnya) yang semakin baik. Amin.

Hak Pejalan Kaki Yang Terkikis

Suatu sore di Ciputat saya berdiri di trotoar sambil memperhatikan jalan-jalan yang tak pernah berhenti macet. Volume kendaraan dan manusia seolah-olah tak ada habisnya di kota perbatasan Banten dan Jakarta Selatan itu. Tiba-tiba saya mendengar suara klakson berbunyi nyaring berulang kali. Saya mencari asal suara klakson yang mungkin saja berasal dari seliweran kendaraan yang ada di jalan raya. Tapi ternyata saya tidak menemukan sama sekali ada kendaraan yang sedang membunyikan klakson. Ternyata ketika saya menoleh ke sisi kiri trotoar ada sebuah motor yang pengendaranya sedang membunyikan klakson berkali-kali ke arah saya. Ya posisi berdiri saya memang menghalangi motor tersebut. Tapi sebenarnya siapa yang salah, siapa yang seharusnya ditilang, saya yang posisinya sudah benar di trotoar atau motor tersebut yang menyerobot hak saya sebagai pejalan kaki? Ah, seenaknya deh!

Sebagai pedestrian (pejalan kaki) sejati, saya melihat semakin hari hak-haknya semakin terkikis. Ketika ingin menyeberang di jalan raya yang tidak ada jembatan penyebrangan, pejalan kaki acap kali sulit menyebrang karena sering kendaraan menyalakan lampu tanda tidak ingin memberi kesempatan dan langsung tancap gas. Yang lebih parah, trotoar yang memang diperuntukkan bagi para pejalan kaki malah sering disalahgunakan. Menjadi warung makan misalnya, atau malah jadi jalan tambahan bagi bikers yang merasa kekurangan lahan jalanan. Baca lebih lanjut